DimensiNews.co.id, SUKOHARJO – Hari ini menjadi berkesan bagi Karseno Handoyo, pria 39 tahun yang merupakan kepala Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 4 Sukoharjo. Bertepatan peringatan Hari Amal Bakti Kementerian Agama Tahun 2020 ini terasa berbeda baginya.
Pada tahun ini, pria yang akrab dipanggil Karseno tersebut menjadi tahun pertama berdiri dan berjajar dengan deretan kepala madrasah lain pada kegiatan tersebut.
Banyak yang mengira keberhasilan karier Karseno dengan jalan yang mudah. Pria kelahiran 16 Juli 1980 di Sukoharjo tersebut harus melalui perjuangan yang tidak ringan. Setelah lulus sekolah dasar, demi bisa melanjutkan sekolah Dia harus berpisah dengan orang tuanya dan ikut tinggal bersama salah satu tokoh masyarakat di kota Sukoharjo.
“Sejak SMP sampai SMA saya ikut keluarga Kyai Mawardi, tokoh agama dan pendidikan di sini, kalau istilah jawanya itu saya ngenger,” ungkap Karseno ketika berbincang dengan Dimensi News pada Jum’at (3/1/2020).
Selepas SMA, Karseno melanjutkan kuliah komputer 1 tahun dan melanjutkan kuliah diploma. Namun Dia harus berhenti di semester 5 karena sulitnya beban hidup di waktu itu. Tahun 2000 Karseno bekerja menjadi buruh di salah satu pabrik tekstil di Sukoharjo. Meskipun terasa berat yang kadang harus kerja shift malam namun nasehat ibunya menjadi penyemangat baginya.
“Ibu saya waktu itu selalu berpesan, Jalmo Tan Keno Kiniro, yang artinya manusia tidak tahu nasibnya nanti, nasib sudah ada yang mengatur, tugas manusia itu berusaha dan berbuat baik kepada siapapun,” kata pria berkacamata tersebut.
Penghasilan bekerja menjadi buruh pabrik digunakan Karseno untuk mendaftar kuliah diploma Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). Tahun 2002 Dia berhenti bekerja di pabrik tekstil dan beralih menjadi sales makanan dan jamu. Hal itu dilakukan karena bekerja sebagai sales bisa dilakukan pagi hari dan sorenya bisa untuk kuliah.
“Masa itu menjadi masa terberat bagi saya, tiap hari harus berkeliling kota Solo dan Sukoharjo untuk bekerja dan sorenya kuliah. Bahkan waktu menjadi sales pernah terkunci di salah satu sekolah di Solo karena terlambat keluar dari lingkungan sekolah tersebut,” kenang Karseno.
Begitu lulus kuliah, Karseno melamar menjadi guru agama di salah satu SD. Namun tidak sampai setahun Dia pindah bekerja di MIN 2 Sukoharjo yang waktu itu masih bernama MIN Jetis. Di tempat kerjanya yang baru, Karseno tidak langsung mengajar namun hanya sebagai karyawan administrasi.
“Saya diberi kesempatan mengajar pertama ketika ada kekosongan guru, itupun harus melalui evaluasi guru senior setiap bulan. Bahkan saya pernah diawasi diam-diam dari jendela kelas ketika saya mengajar. Namun semua itu menjadi motivasi bagi saya untuk mengajar sebaik mungkin,” ujarnya.
Setelah diangkat menjadi guru, gajinya yang waktu itu tidak begitu besar sebagian ditabung dan digunakan untuk melanjutkan kuliah jenjang sarjana. Tahun 2006 Karseno berhasil meraih gelar S.Pd.I dan perolehan gelarnya tersebut menjadi motivasi teman lainnya yang waktu itu belum sarjana untuk ikut melanjutkan pendidikan.
“Mengajar itu sesuatu yang menyenangkan, meskipun gaji sedikit tapi bisa menularkan ilmu yang saya miliki dan menjadi berkah,” tutur Karseno
Hasil kerja keras Karseno berbuah manis ketika tahun 2007 bisa diangkat menjadi PNS. Rasa Syukur diangkat PNS diwujudkan dengan melanjutkan kuliah ke jenjang S2. Tahun 2009 Dia berhasil lulus dan memperoleh gelar MSI.
“Pada bulan Juli tahun 2019 saya diangkat menjadi kepala madrasah dimana pada tahun sebelumnya sudah mengikuti seleksi dengan metode CAT yang diselenggarakan oleh kantor BKN Pusat,” terang Karseno.
Semenjak menjadi kepala madrasah, kesibukan karseno tidak berkurang. Dia yang juga founder lembaga Indonesia Tanpa Pacaran (ITP) Sukoharjo ini harus berpindah dari tempat satu ke tempat lain setiap minggunya untuk mengisi kajian dan motivasi kepada remaja.
“Permasalahan remaja sekarang ini semakin rumit, padahal mereka generasi penerus dan aset bangsa, maka harus selalu didampingi supaya berada pada kehidupan yang benar,” papar Karseno.
Meskipun kesibukannya tidak sedikit, Dia masih terus membina yayasan yang didirikannya bersama sang isteri di bidang pendidikan.
“Saya berkeinginan nantinya bisa mendirikan pondok pesantren yang menampung remaja kurang mampu untuk dibimbing menjadi remaja yang berilmu dan religius,” tutup pria yang mempunyai motto hidup menjadikan setiap detik waktu dan setiap detak jantung bagi orang lain tersebut.(pry)