DimensiNews.co.id — JAKARTA.
Kekerasan terhadap anak yang terjadi belakangan ini sangat menyita perhatian masyarakat, diantaranya kasus seorang kakek membunuh cucunya di Sorong dan kasus seorang ibu kandung yang tega membunuh buah hatinya yang terjadi di Kebun Jeruk, Jakarta Barat, menjadi sebuah potret kelam tentang kekerasan terhadap anak.
“Dua peristiwa perampasan paksa hak hidup terhadap anak di Sorong dan Jakarta Barat ini menunjukan potret tergerusnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pengasuhan anak di rumah tangga. Nilai-nilai (value) agama dan interaksi spiritual sudah tidak lagi dikedepankan dalam membangun keluarga yang berkarakter,” kata Aris Merdeka Sirait.
“Anak tidak lagi ditempatkan sebagai amanah dan anugerah yang dititipkan Tuhan kepada masing-masing keluarga,” lanjut Ketua Komnas Perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait pada Wartawan.
Dalam situasi kedaruratan dalam rumah tangga, apakah karena faktor ekonomi, depressi, kekerasan dalam Rumah tangga, anaklah yang selalu menjadi pelampiasan dan korban. Anak seringkali tak berdaya dan sering pula menjadi bulan-bulanan kemarahan yang dapat berakhir dengan penyiksaan dan kekerasan
“Rasanya tidaklah adil anak mendapat perlakuan salah, karena anak adalah sosok dan individu yang tidak mampu membela dirinya dalam situasi apapun, GW, P dan U adalah sosok anak yang mesti dilindungi bukan justru mengalami penyiksaan keji tanpa perlawanan sedikitpun,” tambahnya lagi.
Dari peristiwa penyiksaan dan perampasan hak hidup terhadap anak ini, Komnas Perlindungan Anak sebagai lembaga perlindungan independen yang memberikan pembelaan dan perlindungan anak di Indonesia mengajak semua komponen bangsa, masyarakat khususnya keluarga agar menggunakan peristiwa kekerasan fisik yang mengakibatkan anak meninggal dunia di Sorong dan Jakarta Barat ini sebagai momentum untuk mengoreksi pola pengasuhan yang otoriter dan mengabaikan hak asasi anak sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat.
“Perlu diingat bahwa perubahan-perubahhan kebiasaan dan prilaku anak seringkali menunjukkan bahwa apa yang dilakukan anak yang tidak biasa seperti mengompol misalnya, mimpi buruk, mengigau pada saat tidur, mengerat gigi, dan tidak menggubris perintah dan nasehat orangtua bahkan melawan sekalipun, hal itu harus dipahami sebagai salah bentuk komunikasi bahwa anak sedang dalam kondisi tertekan, depresi dan mengalami berbagai masalah seperti bully maupun perlakuan salah lainnya yang membutuhkan perhatian orangtua,” jelasnya.
Seringkali orangtua gagal paham terhadap keberadaan dan perubahan prilaku anak dalam rumah tangga. Kedua orang tua yang tega menghilangkan nyawa anak dan cucunya sendiri itu harus bertanggungjawab secara, sosial, spritual dan hukum. Oleh sebab itulah Bedu dan Novi mesti dan wajib menjalani hukuman yang setimpal dengan perbuatan.
Sebab perampasan hak hidup secara paksa dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusua dan UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tetang perubahan UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak junto KUH Pidana merupakan tindak pidana dan pelanggaran hak asasi anak dan juga pengabaian terhadap harkat dan martbat anak sebagai manusia ciptaan Tuhan.
(Red)