JAKARTA – Pengusaha angkutan pariwisata saat ini tengah menjerit dan terancam bangkrut. Pasalnya, mereka (pengusaha) kesulitan membayar hutang karena seluruh destinasi wisata ditutup oleh pemerintah akibat pandemi Covid-19.
Ketua Pengusaha Bus Pariwisata dan Rental Indonesia (PEBPARINDO) Januari Wan menyebut, sedikitnya ada 85% pengusaha angkutan pariwisata mengalami kesulitan membayar hutang akibat hampir seluruh armada angkutan mereka tidak beroperasi karena dampak pandemi Covid-19.
“Pandemi Covid-19 ini telah menyebabkan arus kas perusahaan makin ketat, sehingga kemampuan membayar hutang menurun. Bahkan kami sampai harus menjual aset yang ada,” ujar Januari Wan kepada wartawan, Kamis (8/4).
Dia berharap, pemerintah harus hadir di tengah teriakan para pengusaha transportasi wisata. Sebab menurutnya, pemerintah telah mengabaikan Sila ke 5 dari Pancasila. “Pemerintah hanya mampu mengeluarkan kebijakan dan regulasi tanpa solusi. Sementara POJK telah mengeluarkan Peraturan POJK No.48/ POJK.03/2020 sebagai pengganti POJK No. 11 yang isinya mengenai restrukturisasi/stimulus diperpanjang sampai 31 Maret 2022,” kata owner PO. Gardoe ini.
“POJK tersebut hanya iklan belaka. Tak lebih hanya untuk sekedar menyenangkan hati Presiden RI. Karena fakta di lapangan banyak perusahaan pembiayaan tidak menjalankan POJK tersebut, bahkan perusahaan pembiayaan melakukan penarikan kendaraan menggunakan jasa penagih hutang (dept colector) dengan cara intimidasi yang menakutkan,” tambahnya.
Januari Wan menyampaikan, sekitar 338 anggota PEBPARINDO meminta penundaan bayar angsuran atau restrukturisasi, keringanan cicilan, serta sebagian meminta keringanan bunga sesuai POJK No.48/POJK.03/2020. “Kami meminta OJK melakukan kontrol terhadap perusahaan pembiayaan yang tidak patuh pada aturan tersebut. Hal itu ntuk menghindari penumpang gelap atau free rider. OJK sebagai regulator harus bekerjasama dengan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) agar memproritaskan pengusaha bus angkutan pariwisata dengan mengacu pada database Kemenhub melaui Portal SPIONAM sebagai portal resmi data kendaraan berlegalitas,” terangnya.
“Kami mengharapkan ada perhatian dari pemerintah untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut, sebab sebelumnya PEBPARINDO sudah menyurati Menhub dengan Nomor Surat: 005/PEB/PFPKL/II/2021 untuk memfasilitasi pertemuan dengan beberapa kementerian dan lembaga untuk bertemu dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Perekonomian, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta APPI untuk mencari solusi dalam masalah Restrukturisasi/Stimulus yang berkeadilan,” jelasnya.
Januari Wan juga menilai, permasalahan utang pengusaha transportasi sudah menjadi problem mendesak, terutama bagi sektor angkutan pariwisata yang sangat jelas terdampak di masa pandemi saat ini. Selain itu, persoalan lain yang dihadapi pelaku usaha yakni modal kerja karena pemulihan korporasi tidak secepat UMKM. Meski pemerintah sudah memberikan beberapa kelonggaran, seperti teknis penjaminan kredit kepada perbankan juga masih terasa menyulitkan.
“Pemerintah selalu menggaungkan ‘Keselamatan Rakyat Adalah Hukum Teringgi’. Kami kan Rakyat?? Kenapa keselamatan kami diabaikan??? Pengusaha angkutan pariwisata yang berizin tercatat sekitar 1.070 perusahaan. Bayangkan saja bila pengusaha angkutan pariwisata mengalami kebangkrutan, maka berapa ratus ribu karyawan (rakyat) yang harus kehilangan pekerjaan,” imbuh Januari Wan.
Ia juga mengingatkan kembali kepada pemerintah untuk ingat dan harus hafal dengan Sila ke- 5 Pancasila. “Dalam situasi seperti saat ini, pengusaha sudah melakukan berbagai efisiensi biaya, termasuk menjual aset dan mengurangi tenaga kerjanya. Apa lagi saat ini pemerintah melarang mudik, sudah dipastikan kami akan terpuruk lebih parah lagi,” ucapnya.
Januari Wan menegaskan, pihaknya akan melakukan aksi besar-besaran jika persoalan ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. “Kami akan lakukan demo besar-besaran dan menutup akses jalan protokol secara nasional, dan kami akan geruduk OJK,” tegasnya.
“Bila perusahaan pembiayaan (leasing) melakukan penarikan kendaraan secara paksa, kami akan melakukan perlawan hukum secara Perdata. Sebab ini terjadi bukan karena karakter buruk debitur, melainkan ini adalah karena kondisi bencana nasional (force majeure). Dan sampai saat ini kendaraan masih kami kuasai serta tidak kami pindahtangankan kepada pihak lain. Sehingga kami tidak melanggar Undang-undang Fiducia Pasal 23 ayat 2,” tutupnya.*(Ren)