Penanganan Pengungsi di Indonesia Mengalami Kendala Regulasi
Oleh: Renoto Sirengga
Beberapa hari terakhir publik banyak menyoroti adanya pemindahan para imigran pencari suaka asal negara Sudan, Somalia, Afganistan, Irak, dan Iran yang berada di Kebon Sirih, Jakarta Pusat oleh Pemprov DKI Jakarta ke salah satu penampungan Gedung Korem 052 yang belum dipakai di kawasan Jalan Bedugul, Komplek Daan Mogot, Kalideres, Jakarta Barat, Selasa (11/7/2019).
Atas dasar surat dari UNHCR kepada Pemprov DKI Jakarta, Dinas Sosial memindahkan serta memberikan lokasi sementara. Tak hanya itu, para pengungsi diberikan bantuan logistik berup makanan 3 kali sehari selama 1 minggu. Namun, dalam rentan waktu satu minggu UNHCR diminta dapat memberikan solusi terhadap nasib mereka ke depan.
Akan tetapi upaya kemanusiaan Pemprov DKI Jakarta menuai beragam tanggapan dari masyarakat, terutama warga yang berada di sekitar penampungan. Warga Komplek Daan Mogot, Kalideres, Jakarta Barat menolak keras dengan adanya ribuan pengungsi dengan memasang spanduk-spanduk besar yang berisi kalimat penolakan.
Hal itu menjadi pertanyaan besar dan menimbulkan opini bagi sebagian masyarakat tentang regulasi serta payung hukum guna menangani persoalan pengungsi luar negeri yang mencari suaka di Republik Indonesia. Pasalnya, belum ada satupun Undang-undang di Indonesia yang (khusus) mengatur masalah pengungsi. Terlepas dari nilai-nilai dan sisi kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab suatu negara.
Regulasi menjadi salah satu kendala di lapangan. Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB mengenai Status Pengungsi 1951 (1951 Refugee Convention) dan Protokol Pengungsi 1967 (Protocol Relating to the Status of Refugee). Satu-satunya Undang-Undang yang menyingggung penanganan pengungsi asing dalam hukum nasional Indonesia adalah Undang-undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Pasal 27 Undang-Undang Hubungan Luar Negeri menyebutkan, Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri. Barulah pada masa Presiden Joko Widodo terbit peraturan turunan dari Undang-Undang itu, yaitu Peraturan Presiden No.125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Perpres Pengungsi Luar Negeri), yang disahkan Presiden Joko Widodo. Perpres ini memberikan dasar pelayanan yang diberikan petugas imigrasi kepada para pengungsi.
Meskipun belum meratifikasi, Indonesia berkomitmen untuk menangani para pengungsi atas dasar kemanusiaan sesuai Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Persoalannya, masalah pengungsi bukan hanya ranah tanggung jawab Imigrasi. Lagipula, Imigrasi memiliki keterbatasan menangani pengungsi yang mencapai ribuan orang.
Imigrasi berpegang pada Undang-undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Perpres tahun 2016 menambah kewenangan penanganan pengungsi kepada Ditjen Imigrasi. Dalam UU Keimigrasian, secara terbatas diatur bahwa keimigrasian berkaitan dengan lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknyan kedaulatan negara. Layanannya pun hanya meliputi penegakan hukum, keamanan negara, dan fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat. Jelas hal ini berbeda karakter dengan layanan kemanusiaan yang harus diberikan kepada pengungsi.
Personel Imigrasi tidak dilatih menjadi pekerja sosial dengan kepiawaian menangani masalah kemanusiaan. Petugas Imigrasi hanya berperan sebagai bagian dari penegakan hukum keimigrasian. Belum lagi biaya penanganan para pengungsi, negara tidak memiliki pos anggaran untuk menangani pengungsi.
Selain masalah-masalah teknis, Imigrasi juga mengkhawatirkan dampak kehadiran pengungsi dalam jangka waktu lama. Jika terjadi kekosongan hukum dalam penanganan pengungsi, imbasnya pada masalah sosial dan ketahanan negara. Kalaupun sudah ada Perpres Pengungsi Luar Negeri, regulasi ini hanya mengatur bagian kecil ketika tanggap darurat pertama, sebaliknya belum mengatur pencegahan, pemulangan, dan siapa yang bertanggungjawab secara utuh terhadap para pengungsi. UNHCR sendiri tidak berani menjamin proses identifikasi dan verifikasinya.
Dari kesimpulan tersebut, saya berharap pemerintah Republik Indonesia segera mengambil langkah-langkah konkrit terkait masalah pengungsi ini. Karena menurut saya, dari segi ketahanan nasional perlu diwaspadai apakah setiap orang asing yang menyatakan diri menjadi pengungsi ternyata mata-mata asing atau anggota jaringan teroris internasional yang bermaksud menyebarkan ideologinya. Belum lagi jika pengungsi tersebut membawa penyakit menular yang bisa mewabah di Indonesia, sementara pengungsi juga memiliki hak mobilitas serta berinteraksi dengan warga lokal.