JAKARTA – Tragedi adalah ibu kandung dari karya-karya sastra besar. Di era tragedi itulah, apalagi tragedi yang panjang, lolongan tragedi manusia terdengar sekeras-kerasnya. Itulah sebabnya, Perang Dunia II banyak melahirkan film-film pemenang Oscar. Perang Vietnam menghasilkan puisi, balada, dan lagu-lagu yang menyentuh.
Hal itu diungkapkan Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, dalam acara Obrolan HATI PENA #5, bertema “Kata dan Mantra Kala Pandemi,” di Jakarta, Ahad (19/9).
Acara ini menampilkan lebih dari 30 penyair dan penulis dari berbagai latar belakang profesi. Ada dosen, wartawan, diplomat, jenderal purnawirawan, pengusaha, aktivis sosial, dan sebagainya.
Di acara itu, tampil juga penyair senior D. Zawawi Imron, penerima penghargaan The SEA Write Award, Bangkok (2012). Juga, Fakhrunnas MA Jabbar, penerima National Writer’s Award SATUPENA kategori fiksi (2021).
Pada kesempatan itu, Denny menjelaskan, era pandemi banyak melahirkan novel-novel besar. Seperti novel karya dua pemenang hadiah Nobel Sastra. Pertama, novel “Love in the Time of Cholera” karya Gabriel Garcia Marquez, terbit 1985. Ini berisi kisah cinta di tengah pandemi kolera.
Kedua, novel karya Albert Camus, “The Plaque” (wabah). Oleh Albert Camus, setting pandemi kolera tahun 1849 dipindahkan konteksnya ke 1940-an, untuk menghasilkan karya novel yang absurd.
“Kita telah memasuki era pandemi Covid-19. Maka para penyair di Indonesia dan di Asia Tenggara juga sudah membuat buku kumpulan karya, berisi jeritan batin di era Corona,” tutur Denny, yang menggagas genre puisi esai.
Yang dimaksud Denny adalah buku “Love and Life in the Era of Corona,” yang berisi 63 puisi karya 63 penyair Asia Tenggara dan Australia. Buku itu merekam peristiwa dan suasana Covid dalam puisi-puisi esai mini.
Sesudah itu, kata Denny, para cerpenis juga membuat buku kumpulan cerpen bersama. Ini buku karya penulis dari tiga negara: Indonesia, Malaysia dan Australia. Judulnya, “Katakan Selamat Tinggal Kepada Corona.”