JAKARTA – Digitalisasi dapat menarik kapital kembali ke negara maju yang sudah jauh lebih efisien. Digitalisasi juga dapat memperbesar kesenjangan berupa persaingan antar UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah). Namun, bahaya itu bisa diatasi dengan konsep Negara Kesejahteraan Digital (Digital Welfare State).
Hal itu diungkapkan Ajisatria Suleiman, praktisi kebijakan digital dan penulis buku “Jaring Pengaman Digital,” di Jakarta, Ahad (26/9). Ajisatria menjadi narasumber di Obrolan HATI PENA #6, bertema “Disrupsi Membunuh Siapa?” Acara ini diselenggarakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA.
Narasumber lain adalah Prof. Dr. Franky Budi Hardiman, dosen filsafat dan penulis buku “Aku Klik Maka Aku Ada.” Diskusi dipandu oleh Amelia Fitriani dan Anick HT.
Ajisatria menjelaskan, Welfare State secara umum adalah “kebijakan, program dan praktik yang ditujukan untuk memberikan perlindungan sosial kepada individu.”
Pada konsep Welfare State di masa mendatang, rakyat bukan hanya obyek santunan pemerintah. Namun santunan tersebut harus juga mentransformasi rakyat menjadi “agen-agen perubahan,” yang menjadi motor produksi dan distribusi kegiatan ekonomi digital.
Menurut Ajisatria, Digital Welfare State disusun sebagai “integrasi jaring pengaman sosial, dorongan konsumsi masyarakat, dan transformasi bisnis digital ke dalam satu kerangka kebijakan yang komprehensif.” Melalui kombinasi ini, kualitas pelayanan publik semakin meningkat, dan di saat yang sama, sektor bisnis dapat melaju lebih pesat.
Ajisatria menambahkan, masyarakat Indonesia kini sudah semakin digital. Koneksi mobile sudah mencapai 345,3 juta. Jika dibandingkan jumlah penduduk, angka itu sudah mencapai 125,6 persen. Waktu yang dihabiskan tiap hari untuk internet (semua piranti) mencapai 8 jam 52 menit.