JAKARTA – Problem kepenulisan di Indonesia itu terutama adalah antara pembaca dan karya sastra itu berjarak. Masyarakat seni atau penikmat sastra itu “elitis,” mungkin jumlahnya rata-rata cuma 5-10 persen dari populasi. Apalagi untuk sastra “serius,” yang hanya dibaca kalangan terbatas.
Hal itu mengemuka dalam Webinar di Jakarta, Kamis (17/2), yang diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA. Pemandu diskusi adalah Anick HT dan Swary Utami Dewi.
Narasumbernya adalah enam penulis senior dari berbagai pulau di Indonesia, yakni: Anwar Putra Bayu, Dhenok Kristianti, Muhammad Thobroni, I Wayan Suyadnya, Hamri Manoppo, dan FX Purnomo. Mereka menyampaikan berbagai problem dan tantangan yang dihadapi penulis di wilayah masing-masing.
Problem yang diungkapkan, antara lain, kesenjangan antara kondisi di pusat dan daerah. Misalnya, lemahnya akses ke penerbitan dan percetakan, kendala biaya, serta akses ke distribusi dan sirkulasi. Termasuk kesenjangan sarana Internet dan kompetensi digital.
Juga ada tantangan minat baca yang rendah. Upaya mendorong minat baca ini sulit, karena keterbatasan jumlah perpustakaan dan minimnya jumlah koleksi bukunya. Jumlah toko buku di daerah tertentu juga kurang. Perlu inovasi perpustakaan yang “inklusif,” yang bukan sekadar buat tempat membaca.
Singkat kata, profesi penulis belum dirasakan sebagai profesi yang menjanjikan untuk kehidupan. Di Bali, misalnya, profesi penulis masih kalah dengan pelukis dan pematung. Satu lukisan bisa laku ratusan juta, tetapi untuk menulis buku, mendapat royalti saja sudah bagus.
Namun, setapak demi setapak, SATUPENA diharapkan dapat menjadi naungan bagi para penulis di Indonesia. SATUPENA diharapkan bisa membangun ekosistem kepenulisan, yang memperkuat posisi para penulis.