JAKARTA – Budaya primordial suku-suku di Indonesia adalah budaya religio-magis, bukan religio etis seperti dalam agama-agama besar dunia. Tujuannya adalah menghadirkan daya atau tenaga gaib ilahiah di dunia manusia, untuk menyelesaikan masalah-masalah hidup di dunia ini.
Hal itu dikatakan kritikus sastra dan pemerhati budaya Jawa Barat, Prof. Drs. Jakob Sumarjo, dalam Webinar di Jakarta, Kamis (7/4). Webinar diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA dan dipandu oleh Anick HT dan Elza Peldi Taher.
Ditambahkan oleh Jakob, alam ilahiah itu yang menyebabkan semua yang ada ini ada. “Alam ilahiah itu nonmateri, yang menjadi sumber bagi alam materi semesta dan dunia manusia ini. Ia disebut Yang Esa, tanpa perbedaan,” ujarnya.
Sebagai asal dan sumber semua yang ada, terdapat dua cara, yaitu Monisme dan Dualisme. Monisme menganut kepercayaan bahwa semua yang ada ini hanya satu (mono), yang mengalirkan dirinya menjadi yang banyak (pancaran, emanasi). “Ini akan melahirkan panteisme,” sambung Jakob.
Sedangkan Dualisme menganut kepercayaan bahwa semua yang ada ini adalah ciptaan dari Yang Esa. “Dalam Monisme ada kesatuan, sedangkan Dualisme terjadi pemisahan antara Pencipta dan ciptaan,” lanjut Guru Besar Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini.
Sedangkan semua yang ada di alam semesta dan alam manusia ini plural, banyak dan aneka warna, yang terdiri dari pasangan berbalikan sifatnya. “Orang Jawa bilang: dunia ini hanya terdiri dari dua hal saja,” ujar Jakob.
Agar yang ada di dunia ini tetap ada, maka kondisi dualistik tak boleh melenyapkan salah satu pasangan. Kalau gelap tak ada, maka terang juga tak ada. “Tugas kearifan lokal adalah menjaga keseimbangan, menjaga status quo seperti pada awal ada ini ada,” tutur Jakob.