JAKARTA – Fenomena ambruknya industri media cetak membuat profesi reporter suratkabar menjadi profesi yang paling buruk. Dari 200 profesi, reporter koran berada di peringkat 200. Kesimpulan ini berdasarkan tiga kriteria: gaji yang diterima, tingkat stres dalam pekerjaan, dan prospek profesi.
Hal itu diungkapkan Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA, dalam Webinar di Jakarta, Kamis malam (26/5). Denny mengutip hasil riset CareerCast (2015), yang dimuat di suratkabar Washington Post, 15 April 2015.
Webinar bertema “Senjakala Media Cetak” itu menghadirkan narasumber tokoh pers Ilham Bintang. Pemandu diskusi adalah Amelia Fitriani dan Elza Peldi Taher.
Denny menyatakan, bisnis media cetak saat ini sudah jauh merosot. Mengutip Forbes (2021), ada empat empat indikator memburuknya bisnis media cetak. Pertama, tutupnya banyak media cetak. Sejak 2004, di Amerika Serikat sekitar 1.800 media cetak tutup. Rata-rata 100 koran tutup setiap tahun.
Kedua, merosotnya revenue iklan media cetak. Pada 2005 ada revenue iklan sebesar 49,4 miliar dollar AS. Namun, pada 2019 turun menjadi 12,46 miliar dollar AS. “Pada 2020, turun lagi jadi 8,8 miliar dollar AS, atau turun 30 persen dibandingkan 2019,” ujar Denny.
Ketiga, merosotnya jumlah pekerja di media suratkabar. Pada 2006, ada 74.410 orang bekerja di media cetak di AS. Pada 2020, jumlah pekerja turun menjadi 30.820 orang. “Jumlah pekerja media cetak menurun terus selama 14 tahun,” tutur Denny.
Kempat, terjadi merger dan akuisisi. Media cetak besar mencaplok media cetak kecil. “Di AS, 25 perusahaan media cetak terbesar kini memiliki sepertiga total koran (2020), meningkat dari 20 persen pada 2004,” tambah Denny.