JAKARTA – Satu dari tiga orang Indonesia secara personal terekspos pada politik uang atau jual beli suara dalam pemilu. Hal itu dinyatakan oleh Prof. Burhanudin Muhtadi, Ph. D., Guru Besar FISIP UIN Jakarta.
Burhanuddin Muhtadi adalah pembicara dalam diskusi bertema tentang Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi. Diskusi itu berlangsung di Jakarta, Kamis malam, 6 Desember 2023.
Diskusi yang menghadirkan Burhanuddin Muhtadi itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai Denny JA. Webinar itu dipandu oleh Elza Peldi Taher dan Swary Utami Dewi.
Burhanuddin menjelaskan, dilihat secara persentase, Indonesia saat ini menjadi negara nomor tiga terbesar di dunia dalam hal praktik politik uang, hanya kalah dari Uganda dan Benin. Angka persentase tertinggi Indonesia adalah 33 persen.
“Namun, jika dilihat angka absolut jumlah pelakunya, Indonesia adalah negara pelaku politik uang nomor satu di dunia. Hal ini karena jumlah penduduk Uganda dan Benin sangat kecil dibandingkan penduduk Indonesia,” ujar Burhanuddin.
Menurut Burhanuddin, dalam penelitian ilmiah, untuk mendeteksi adanya praktik jual beli suara yang dianggap tercela, peneliti bisa menggunakan teknik-teknik eksperimen. Tidak cuma mengandalkan pada pertanyaan langsung.
Namun, orang Indonesia jika ditanya secara langsung atau memakai teknik eksperimen, jawabannya sama soal politik uang. “Ini menunjukkan, praktik politik uang sudah mengalami normalisasi, yang diakui secara terang-terangan oleh politisi maupun pemilih,” kata Burhanuddin.
“Yang menarik, praktik politik uang ini juga muncul dari para kyai yang memberi justifikasi. Kebetulan, kyainya aktif di sebuah partai Islam,” lanjut Burhanuddin.
“Politik uang itu diakui haram, tetapi bisa menjadi halal atas dasar pertimbangan keadilan. Jika politisi nasionalis menggunakan politik uang untuk menang, maka politisi partai berbasis agama juga boleh menggunakan cara yang sama,” tutur Burhanuddin.
“Hal ini karena tujuan dari politik uang itu adalah untuk menciptakan lapangan permainan yang rata, agar parlemen tidak didominasi oleh partai nasionalis saja,” jelas Burhanuddin.
Burhanuddin menyatakan, menurut penelitian, tawaran uang hanya mempengaruhi pilihan suara sekitar 10 persen dari elektorat total.
“Namun, dalam lanskap elektoral yang sangat kompetitif di Indonesia, angka 10 persen itu sudah sangat berarti dan cukup tinggi bagi banyak caleg untuk meraih kemenangan,” jelasnya.
Burhanuddin mengaku, ia tertarik mengkaji politik uang sejak 2010. Waktu itu media massa, kalangan LSM, dan media sosial banyak membicarakan politik uang.
“Tapi popularitas politik uang saat itu tak bisa dibandingkan secara komparatif, karena metode yang dipakai banyak mengandalkan liputan jurnalistik. Bukti-buktinya banyak bersifat anekdotal,” ucapnya.
Ayah Burhanuddin adalah politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) zaman Orde Baru. Ayahnya berjuang tanpa imbalan sepeser pun. Bahkan untuk menjadi anggota DPR pun tak bersedia. Untuk berkampanye, sang ayah keluar uang dari kantong pribadi.