DimensiNews.co.id, SUKOHARJO– Sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa nasib seorang anak tidak jauh dari pekerjaan orang tuanya. Namun pendapat itu dipatahkan oleh Gunarsih, seorang perempuan asal Laweyan Solo, kelahiran 12 Maret 1972 tersebut, sudah kenyang dengan berbagai perjalanan hidup hingga mengantarkannya pada kehidupan sekarang.
Ketika masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), Gunarsih sudah harus bangun pukul 02.00 dini hari untuk membantu ibunya membuat jajanan yang akan dijual. Diketahui, Gunarsih sudah ditinggal ayahnya berpulang sejak masih berumur satu tahun. Setiap hari Ia bersama ibunya menyalakan tungku perapian untuk memasak di perempatan kampong hingga pukul 06.30 WIB.
![](https://www.dimensinews.co.id/wp-content/uploads/2020/02/GURU-GUNARSIH.-2.jpg)
Setelah lulus dari SMA pada tahun 1991, Gunarsih melanjutkan ke Balai Latihan Kerja (BLK) yang lokasinya tak jauh dari rumahnya. Dia tidak memilih ke yang lain karena terkendala biaya untuk melanjutkan sekolah. Sore hari setelah kursus di BLK, Gunarsih bekerja menjaga Warung Telekomunikasi (Wartel) di samping Stadion Manahan, Solo.
“Setelah Lulus dari BLK, saya nekat melanjutkan kursus komputer meski harus menyisihkan gaji setiap minggu. Saya punya keinginan mengangkat derajat ibu yang harus bekerja siangnya sebagai buruh pabrik batik,” ungkap Gunarsih kepada Dimensi News Rabu (26/2/2020) siang.
Pada tahun 1997, atas saran bibinya, Gunarsih berani mendaftar kuliah di STAIN Surakarta mengambil jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) dengan waktu kuliah sore hari. Adik ibunya tersebut berharap Gunarsih meneruskan profesi keluarganya sebagai guru. Untuk biaya kuliah, setiap pagi Gubarsih membantu di toko kaca milik pakdenya di Sukoharjo.
“Setelah lulus kuliah saya melamar Wiyata Bakti menjadi karyawan di MIN Jetis, Alhamdulillah diterima. Pagi saya Wiyata Bakti, sorenya bekerja di toko pakdhe. Hal ini saya lakukan karena gaji saya hanya Rp 75 ribu, padahal untuk naik bus habis Rp 90 ribu,” tutur Gunarsih.
Tahun 2004 menjadi tahun berarti bagi Gunarsih. Dia memberanikan lowongan CPNS di Kementerian Agama di Sukoharjo yang waktu itu masih bernama Departemen Agama. Berbagai upaya ia lakukan, termasuk harus pindah kependudukan dari Solo ke Sukoharjo. Gunarsih yang tidak tahu perihal birokrasi di Sukoharjo sempat membuat patah semangat.
“Pakdhe Mujiman benar-benar mebantu saya mengantar ke berbagai tempat untuk mengurus administrasi syarat mendaftar CPNS. Bagi saya beliau benar-benar menggantikan almarhum bapak,” kata Gunarsih.
Usaha yang dilakukan Gunarsih berbuah manis. Dia dinyatakan lulus CPNS dan ditempatkan sebagai guru di MIN 2 Sukoharjo yang waktu itu masih bernama MIN Jetis. Semangat belajar yang ditekuninya terus dilakukan dengan melanjutkan kuliah ke program sarjana.
Selama menjadi guru di MIN Jetis, Gunarsih harus berangkat pukul 05.30 dari rumah supaya tidak terlambat sampai madrasah. Gunarsih beranggapan seorang guru harus menjadi contoh yang baik bagi muridnya.
“Akan saya dedikasikan hidup saya ini untuk madrasah. Bukan saya yang membesarkan madrasah, tapi madrasah yang membesarkan saya dan membuat saya bias seperti ini,” tandas Gunarsih. (Priyanto)