Berkat bantuan Shimizu, orang yang ditunjuk oleh Pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia, Fatmawati akhirnya mendapatkan kain merah dan putih.
Shimizu mengusahakannya lewat seorang pembesar Jepang, yang mengepalai gudang di Pintu Air di depan eks Bioskop Capitol.
Bendera itulah yang berkibar di Pegangsaan Timur saat proklamasi kemerdekaan Indonesia.
“Ibu Fatmawati menjelaskan kepada Shimizu bahwa bendera Merah Putih yang pertama kali dikibarkan di Gedung Pegangsaan Timur kainnya berasal dari Shimizu. Dan satu-satunya kain Merah Putih yang diberikan Shimizu kepada Ibu Fatmawati adalah bendera yang berasal dari Gedung Pintu Air itu,” tulis Chaerul.
Bondan Winarno dalam “Berkibarlah Benderaku, Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka” (2003), menuliskan, Fatmawati menghabiskan waktunya untuk menjahit bendera itu dalam kondisi fisik yang cukup rentan.
Tak jarang, ia menitikkan air mata kala menjahit bendera itu.
“Berulangkali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu,” kata Fatmawati dalam buku itu.
“Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah putih. Saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja. Sebab dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit,” sambungnya.
Fatmawati meninggal dunia pada usia 57 tahun di Kuala Lumpur ketika dalam perjalanan pulang setelah melangsungkan ibadah umrah pada 1980 akibat serangan jantung.
Fatmawati mendapatkan gelar pahlawan nasional dari pemerintah pada tahun 2000, dua puluh tahun setelah wafatnya.
Pemberian gelar pahlawan itu berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 118/TK/2000.
(red)